Sekitar 66 juta tahun silam, sebuah batu raksasa dari angkasa menghantam Bumi dengan kekuatan dahsyat, membawa kehancuran bagi para penguasa daratan saat itu: dinosaurus. Kejadian ini menandai berakhirnya era reptil kolosal tersebut dan membuka jalan bagi spesies lain, terutama mamalia, untuk berkembang dan menguasai ekosistem yang ditinggalkan.
Namun, mengingat dinosaurus telah bertahan selama ratusan juta tahun, mengapa mereka tidak berevolusi kembali setelah kepunahan besar itu?
Evolusi bukanlah jalur yang dapat diputar ulang. Ia merupakan mekanisme rumit yang dipengaruhi oleh seleksi alam, mutasi genetik, serta tekanan lingkungan. Jika suatu spesies telah punah, sejarah genetik mereka ikut terhapus, membuat mereka tak bisa kembali dengan bentuk yang sama.
Ketika dinosaurus non-avian lenyap, garis keturunan mereka terputus. Spesies yang tersisa, seperti mamalia dan burung purba, terus beradaptasi dengan kondisi baru. Karena itulah, alih-alih melihat dinosaurus raksasa bangkit kembali, yang terjadi justru munculnya bentuk kehidupan baru yang lebih sesuai dengan lingkungan yang telah berubah.
Meski begitu, ada fenomena yang dikenal sebagai evolusi iteratif, di mana spesies dengan karakteristik serupa dapat muncul kembali setelah kepunahan leluhurnya. Salah satu contohnya adalah Aldabra rail, burung yang mengalami kepunahan tetapi kemudian berevolusi kembali dalam bentuk yang hampir sama.
Harapan untuk menghidupkan kembali spesies yang telah punah memang ada, terutama dengan kemajuan dalam teknologi sekuensing genom. Beberapa ilmuwan bahkan bercita-cita mengembalikan hewan-hewan seperti dodo dan mamut berbulu. Namun, menghadirkan dinosaurus kembali ke dunia nyata masih merupakan tantangan besar yang jauh dari jangkauan ilmu pengetahuan saat ini.
Bahkan jika ilmuwan berhasil mendapatkan fragmen DNA dinosaurus, menciptakan kembali makhluk seperti Velociraptor akan menghadapi banyak hambatan, mulai dari rekayasa genetik yang kompleks hingga keterbatasan teknologi dalam menghidupkan kembali organisme yang telah lama punah.
Mengutip IFLScience, Kamis (13/3), penelitian mengungkap bahwa sebelum hantaman asteroid Chicxulub, populasi dinosaurus mungkin sudah mengalami kemunduran akibat perubahan lingkungan. Sebuah studi tahun 2016 menyebutkan bahwa laju kepunahan dinosaurus lebih cepat dibandingkan kemunculan spesies baru. Meski begitu, penelitian lain menunjukkan bahwa keanekaragaman dinosaurus masih cukup tinggi, dan tanpa hantaman asteroid, beberapa spesies mungkin masih eksis hingga kini.
Seorang paleontolog dari University of Bath, Nicholas R. Longrich, menegaskan bahwa sejarah panjang dinosaurus selama lebih dari 100 juta tahun tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan besar sebelum asteroid Chicxulub menghantam.
Namun, dinosaurus sebenarnya tidak sepenuhnya punah. Burung modern adalah keturunan langsung dari dinosaurus theropoda. Menurut berbagai penelitian, faktor seperti ukuran tubuh yang lebih kecil, keberadaan di belahan Bumi selatan, serta pola makan berbasis biji-bijian menjadi penyelamat bagi burung dari kepunahan massal.
Jadi, meski kita tak lagi bisa melihat Tyrannosaurus rex menguasai daratan atau Stegosaurus berjalan gagah di antara pepohonan, warisan mereka tetap hidup. Dalam bentuk yang lebih kecil, mereka masih ada—terbang bebas di langit dan berkicau di pepohonan.